JAKARTA, SUARA INDONESIA - Direktur Penstudi Reformasi untuk Demokrasi dan Antikorupsi (Presisi) Demas Brian menilai, putusan MK yang menjadikan Gibran Rakabuming Raka melenggang sebagai cawapres Prabowo Subianto, cacat hukum.
Demas berpendapat, karena putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut cela, maka pencalonan Prabowo-Gibran berpotensi dibatalkan oleh pengadilan.
“Maka dari itu banyak sekali gugatan oleh banyak pihak melalui pengadilan negeri, PTUN, MK dan DKPP, dampak diloloskannya pasangan calon Prabowo-Gibran,” katanya, baru-baru ini di Jakarta.
Dia menegaskan, posisi hukum dalam proses tahapan pendaftaran pasangan nomor urut 2 itu mengalami kecacatan hukum. “Dan berpotensi dibatalkan oleh pengadilan yang sedang mempersidangkan perkara tersebut," ujar Demas Brian.
Diketahui, pascaputusan MK yang memerintahkan norma pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang sebelumnya mengatur batas usia calon presiden dan calon wakil presiden 40 tahun berubah.
Ada tambahan, berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah.
Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat, sehingga menjadi pintu masuk bagi Gibran untuk menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto pada Pemilu 2024 mendatang.
Kendati demikian, menurut Demas Brian, walau putusan MK sudah berkekuatan hukum tetap dan bersifat mengikat, namun publik perlu tahu bahwa yang dieksekusi oleh putusan MK itu adalah undang-undang, bukan seluruh peraturan perundang-undangan. Selain itu, juga wajib ada pihak pelaksana atau eksekutor putusan.
Demas Brian menyebut, ketentuan pelaksana itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pada pasal 10 ayat (2) menyebutkan, “tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden”.
Ketentuan ini makin terang karena dalam aturan penjelasan disebutkan bahwa: “tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum”.
Berdasarkan peraturan tersebut, kata Demas, setelah adanya putusan MK yang mengakibatkan perubahan norma pada suatu undang-undang, maka DPR atau Presiden yang berwenang melaksanakan perubahan pada undang-undang tersebut.
Pengaturan pasal 10 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tersebut, Demas menegaskan, sekaligus membantah pendapat yang disampaikan oleh Prof Yusril pada media online 24 Desember 2023 lalu yang menyebutkan, dengan adanya putusan MK tersebut maka norma pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berubah saat itu juga, tanpa menunggu DPR atau Presiden mengubahnya.
“Pendapat Yusril merupakan logical fallacy yang dapat menyesatkan masyarakat atas pemahaman hukum terhadap persoalan tersebut,” ungkapnya.
Akibatnya, keputusan KPU yang menerima pendaftaran pasangan calon Prabowo dan Gibran pada 25 Oktober 2023 lalu, merupakan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang.
Karena dinilainya bertentangan dengan pasal 10 ayat (2) yang menyebutkan bahwa lembaga negara yang wajib melaksanakan putusan MK adalah DPR atau presiden, bukan KPU.
"Kenyataan ini merupakan bukti yang sangat jelas bahwa memang ada perbuatan kesengajaan yang tersistematis dalam upaya melakukan penyelundupan hukum pada proses tahapan pemilu 2024,” tandasnya. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Aris Danu |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi