SUARA INDONESIA JAKARTA

Jangankan Rakyat Biasa, Hakim Konstitusi Saldi Saja Bingung atas Inkonsistensi MK

Redaksi - 17 October 2023 | 09:10 - Dibaca 1.04k kali
News Jangankan Rakyat Biasa, Hakim Konstitusi Saldi Saja Bingung atas Inkonsistensi MK
Hakim ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) berbicara dengan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra (kiri) saat sidang penetapan batas usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sen

JAKARTA, Suaraindonesia.co.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak konsisten terkait batas usia calon presiden dan calon wakil Presiden tak hanya menimbulkan pro kontra publik, namun juga di internal MK. 

Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan keputusan yang meloloskan calon presiden dan calon wakil presiden di bawah 40 tahun namun dengan syarat khusus yang dinilainya tak wajar.

Saat hendak menyampaikan dessenting opinion, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengaku bingung dengan putusan a quo Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak konsisten.

Sebab, MK menolak gugatan terkait batas usia minimal capres dan cawapres pada perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. 

Namun, MK mengabulkan sebagian permohonan mahasiswa asal Surakarta Almas Tsaibbirru Re A dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 sehingga orang yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada boleh menjadi capres dan cawapres meski berusia di bawah 40 tahun.

Terlebih, Saldi menyoroti putusan yang berbeda itu dibacakan oleh MK dalam satu hari yang sama. “Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini,” kata Saldi Isra saat mulai membacakan dissenting opinion.

“Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa ‘aneh’ yang ‘luar biasa’ dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar,” sambung Saldi dalam Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

“Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” tambah dia.

Dia menegaskan MK dalam putusan perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 sudah menyatakan secara eksplisit, lugas, dan tegas bahwa norma pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

Padahal, lanjut Saldi, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut menutup adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

Saldi mengakui, MK bisa saja mengubah pendiriannya. Namun, Saldi menilai tidak ada perubahan sikap yang dilakukan dalam waktu sesingkat ini. Perubahan demikian, lanjut dia, tak sekadar mengesampingkan putusan sebelumnya. 

“Namun, didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakya penting yang berubah di tengah masyarakat,” ungkap Saldi.

“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo?” tandas Saldi.

Diberitakan sebelumnya, MK menerima permohonan pengubahan batas usia capres dan cawapres yang diajukan seorang mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbirru Re A pada Senin (16/10/2023).

"Mengadili, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu nomor 182 tambahan lembaran negara nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah," kata Ketua MK Anwar Usman.

Salah satu pertimbangan hakim Konstitusi menerima permohonan tersebut ialah karena banyak anak muda yang juga ditunjuk sebagai pemimpin.

Sekadar informasi, pemohon juga memiliki pandangan tokoh ideal sebagai pemimpin bangsa Indonesia yakni mengidolakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka periode 2020-2025 karena pada masa pemerintahannya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Surakarta sebanyak 6,23 persen padahal pada saat awal menjabat sebagai Wali Kota Surakarta pertumbuhan ekonomi Surakarta justru sedang minus 1,74 persen.

Terlebih, pemohon menganggap Wali Kota Surakarta sudah memiliki pengalaman membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Redaksi
Editor : Danu Sukendro

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya