JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) menggelar Webinar #TrikoraEdition dengan tema "Merawat Indonesia: Rekonstruksi Sejarah Papua-Kesultanan Tidore dalam Bingkai Nusantara", Jum'at (12/12/2020).
Webinar ini dilaksanakan menurut Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino sebagai bentuk respon GMNI terhadap gencarnya kampanye Gerakan Papua Merdeka hingga konstruksi historis yang membentuk seakan-akan identitas orang Papua berbeda dengan orang Indonesia. Bahkan bangsa Indonesia dikonstruksikan seakan sebagai penjajah.
"Dimulai dengan dialog bersama pelaku sejarah yakni Kesultanan Tidore, pakar sejarah Papua dan putra kenamaan Papua, kita mencoba menyelesaikan problem Papua dengan rekonstruksi sejarah untuk revitalisasi identitas keindonesiaan. Ini pekerjaan yang tak kalah penting, ditengah banyaknya campur tangan negara lain soal Papua, yang juga mencoba memanipulasi sejarah Papua-Indonesia," tutur Arjuna.
Dalam kegiatan tersebut, hadir empat narasumber di antaranya Sultan Tidore Husain Alting Sjah, Kepala Pusat Analisis Kebijakan dan Kinerja Bappenas Dr. Velix Vernando Wanggai, Peneliti Papua dan Pengajar Universitas Cenderawasih Dr. Rosmaida Sinaga, dan Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino.
Acara ini berlangsung selama kurang lebih dua jam, yang dipandu oleh moderator Sekretaris Bidang Media dan Propaganda DPP GMNI Fachri Hidayat. Webinar ini juga disiarkan secara langsung lewat akun YouTube Bapatikamang.
Dalam pemaparannya, Sultan Tidore menegaskan bahwa Kesultanan Tidore memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan Papua. Karena Papua merupakan wilayah adat Kesultanan Tidore. Dalam meletakkan dasar tatanan pemerintahan dan sosio kultural masyarakat adat Papua, Kesultanan Tidore sangat berperan penting.
Dr. Velix Vernando Wanggai mengingatkan, bahwa pemerintah hari ini serius dalam menangani persoalan-persoalan di Tanah Papua. Velix mengatakan pada pengantar sidang kabinet, Presiden Joko Widodo menegaskan tiga hal dalam menuntaskan persoalan-persoalan di Papua.
Yang pertama, evaluasi menyeluruh otonomi khusus di Papua, yang kedua, pemerintah mencari semangat baru, paradigma baru, dan strategi baru dalam menangani persoalan Papua, yang ketiga, mengedepankan dialog dengan tokoh-tokoh Papua.
Dalam kesempatannya, Dr. Rosmaida Sinaga juga menegaskan kembali hubungan Papua-Tidore dari perspektif sejarah. Menurutnya, dalam catatan orang-orang Eropa, hubungan Tidore-Papua sudah terjalin cukup lama sejak abad ke-16. Hubungan dagang Papua-Tidore sudah menghasilkan aneka rempah-rempah yang digemari oleh dunia internasional.
Rosmaida juga menegaskan, bahwa toleransi yang ada di Papua bisa dijadikan contoh sebagai dasar toleransi agama di Indonesia. Karena menurut penelitiannya, di daerah Fak-Fak, Kokas, dan Kaimana ketika orang-orang Kristen membangun gereja, orang muslim masuk dalam kepanitiaannya, begitu juga sebaliknya.
Arjuna Putra Aldino, Ketua Umum DPP GMNI yang juga sebagai narasumber terakhir menegaskan, narasi-narasi yang berkembang belakangan ini bahwa Papua bagian dari suku Melanesia.
Menurut Arjuna, ada persoalan identitas yang perlu diselesaikan. Menurutnya, pemerintah dalam menangani persoalan Papua harus mulai dengan kontruksi sejarah, tidak melulu pakai pendekatan militeristik ataupun pembangunan. Ia mendorong perspektif sejarah agar dipakai dalam penanganan persoalan Papua.
"Menangani Papua, pemerintah tidak boleh hanya mendekatinya dengan pendekatan militeristik atau pembangunan. Hari ini masyarakat Papua dirong-rong oleh sense of difference (perasaan berbeda) dengan Indonesia melalui narasi scientific racism yang menyatakan bahwa Papua adalah ras Melanesia yang berbeda dengan Indonesia. Jika tidak ada upaya, maka narasi ini akan menjadi regime of truth dalam mendefinisikan Papua. Ini berbahaya bagi Keutuhan NKRI," ungkap Arjuna.
Untuk itu, GMNI mengusulkan agar Pemerintah tidak hanya fokus pada isu keamanan dan pembangunan ekonomi dalam menangani Papua. Namun juga mulai menyentuh aspek historis dan kultural.
GMNI mengusulkan agar pemerintah aktif melakukan rekonstruksi sejarah Papua-Indonesia melalui lembaga-lembaga pendidikan sebagai upaya membangun identitas keindonesiaan yang solid dan kokoh berbasis historiografi Papua-Indonesia.
"Sudah saatnya pemerintah aktif melakukan rekonstruksi sejarah Papua untuk membangun identitas keindonesiaan yang solid dan kokoh, yang selama ini sedang dirong-rong oleh narasi-narasi anti-Indonesia yang diindoktrinasi kepada masyarakat Papua. Pembangunan ekonomi jalan, rekonstruksi historis untuk membangun identitas keindonesiaan juga harus jalan," tutup Arjuna.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : |
Editor | : |
Komentar & Reaksi